Monday 15 July 2013

Naskah: Silsilah Tarekat

PENGERTIAN AL-‘ABID AL-MU’TROFU BIZAMBI WA TAKSIRU YUSUF MAKASAR AL-JAWI RADIULLOHU ANHUM WA NAFAABIHIM.
(Dalam Naskah Bumbung)
oleh: Tubagus Najib

PENDAHULUAN
            Tabir proses persentuhan budaya nusantara dengan tradisi-tradisi besar, seperti Islam akan dapat diketahui lebih jelas, bilamana secara terus menerus mencari dan mengungkapkan dari suatu hasil temuan, apalagi dalam masa tersebut sudah mengenal huruf, sehingga dalam mengungkapkan sesuatu telah diwujudkan melalui tulisan-tulisan.
            Tulisan-tulisan kuna, merupakan informasi yang berharga bagi peneliti khususnya, karena dari kandungan tulisan tersebut tidak menutup kemungkinan akan terbuka perbendaharaan masa lalu budaya, yang merupkan jatidiri bangsa Indonesia.
            Pada garis besarnya, terdapat dua tulisan bahasa naskah, yaitu naskah nusantara yang terbagi atas berbagai macam bahasa lokal dan umumnya menggunakan huruf Arab dan naskah asing yang menggunakan bahasa asing, seperti huruf Arab bahasa Arab, huruf Belanda bahasa Belanda dan lain-lain.
            Khusus mengenai naskah nusantara yang menggunakan bahasa Melayu huruf Arab telah tersebar di 28 negara ( Chamber Lor: 1980). Adapun jumlah naskah Melayu huruf Arab yang terdapat di Nusantara sebanyak 400 buah ( Jumsari Jusuf 1994: 18), belum termasuk bahasa-bahasa lokal lainnya yang ada di nusantara.
            Penelitian awal mengenai naskah yang dilakukan oleh Pus P3N, Bidang Arkeologi Islam, dilaksanakan pada tahun 1976 (Cholid Sodri 1978: 83). Pada tahun 1980, Puslit Arkenas bekerjasama dengan EFEO telah mengadakan pengumpulan naskah, khusus naskah Jawa Barat secara bertahap, pada tahap pertama telah terkumpul sebanyak 955 naskah yang telah dimuat dalam KATAlOG I yang berasal dari naskah Daerah Bogor, Cianjur, Sukabumi, Bandung Selatan, Barat dan Utara, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Majalengka dan Subang Selatan.
            Dalam tahap berikutnya atau tahap kedua, baru dalam pengumpulan naskah yang akan dimuat dalam KATALOG II yang berasal dari Serang Tengah, Utara dan Lampung. Telah terhimpun sebanyak 14 naskah yang isinya terdiri dari 23 naskah induk dan 26 naskah sempalan (lihat tabel), tidak termasuk naskah bumbung.
            Mengingat naskah bumbung tersebut belum terjaring dalam penelitian naskah Islam II Jawa Barat dan juga tidak diizinkan oleh pemiliknya untuk dipamerkan dalam Festival Istiqlal II merupakan salah satu yang mendorong ingin mengetahui dan mengungkapkan apa yang terkandung dalam naskah tersebut, apalagi sampai diberitakan bahwa naskah tersebut yang terpanjang di wilayah Banten.
            Di akhir naskah tercantum tulisan dari bahasa Arab yang redaksinya sebagai berikut:
AL’ABID AL-FAKIR AL-MUTAROFA BIZAMBI WAT-TAKSIRU YUSUF MAKASAR AL-JAWI RODIALLOHU’ANHUM WA NAFA’ANA BIHIM,
Apa pengertian dari redaksi tersebut dan bagaiamana pengaruhnya dalam masyarakat Banten ?

RIWAYAT NASKAH
            Naskah bumbungyaitu suatu naskah yang disimpan di dalam bumbung. Naskah tersebut berisi tentang silsilah nama-nama yang berasal dari berbagai negara. Bahan naskah dari kertas eropa yang dilapisi kain warna hijau. Panjang naskah 993 cm, lebar 27,5 cm, sedangkan panjang bambu 57 cm dan diameter 10 cm. Pemilik naskah H. Abdul Hamid, Desa Klapian, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang. Titimangsa ditulis dengan angka Jawa dalam tahun Hijriah yang berangka tahun 1259 H atau dalam tahun Masehinya tahun 1843 M. angka tahun/titimangsa tersebut terdapat pada bagian awal naskah pada posisi di luar garis isi naskah.
            Pasang air laut akibat letusan Gunung Krakatau pada tahun 1888 telah menghancurkan Desa-Desa yang berada di pesisir laut, termasuk Desa Klapian Tirtayasa. Korban bencana alam tersebut telah merenggut harta dan nyawa. Diantaranya naskah Bumbung, namun kemudian setelah air lau surut, naskah tersebut telahl ditemukan kembali. Tidak diketahui dengan pasti  siapa yang mula-mula menemukan naskah tersebut hanya yang jelas naskah tersebut telah menjadi milik ibu Kasinah (dikenal dengan ibu tua), berikutnya diwariskan pada putranya yang bernama ibu Nuraini dan kewenangan sepenuhnya dipegang oleh saudara sepupunya yang bernama K.H. Nabhani (berumur 70 tahun).
            Asal-usul ibu Kasinah (ibu tua)  dari pihak ayahnya berasal dari Sumedang sedangkan dari pihak ibu berasal dari Gunung Cianten yang bernama Ratu Salmah. Naskah tersebut telah dimiliki secara turun temurun selama 4 generasi. Naskah Bumbung oleh pemiliknya dianggap sebagai benda Pusaka, yang memiliki kewenangan membuka naskah tersebut ialah akhli waris yang ditunjuk oleh keluarga, merekalah yang berhak untuk membukanya cara untuk membukanyapun bersyarat ada waktu-waktu tertentu kecuali dalam keadaan darurat, harus dihadiri minimal sebanyak 40 orang dan mendapat restu dari sidang keluarga. Karena acara tersebut dihadiri oleh banyak orang, maka sebagai jamuannya disediakan makan bersama sebagai lauk pauknya memotong dua ekor  kambing untuk yang hadir dan untuk anak yatim piatu.

PENGERTIAN
            Pada judul tersebut diatas terdapat 2 variabel. Variabel pertama adalah; al’abid al-fakir al-mu’tarofa bi zambi. Variabel kedua, taksiru Yusuf Makasar al-Jawi Rodiallohu’anhum wa nafa’ana bihim.

Variabel Pertama
            Al-‘abid, merupakan isim fa’il yang artinya hamba, asal kata dari ‘abada ya’budu. Al-fakir merupakan isim fa’il, artinya yang mempunyai kekurangan, asal kata dari fakaro yfkaro. Al-muo’tarofa, merupakan isim maf’ul artinya yang rumase (yang merasa banyak). Bizambi, merupakan isim masdar, artinya dosa, asal kata zanaba yanzibu. Jadi maksudnya adalah, Hamba yang miskin dan penuh dengan dosa.

Variabel Kedua
            Wat-taksiru Yusuf Makasar al-Jawi Rodiallohu’anhum wa nafa’ana bihim. At-taksiru merupakan isim masdar, artinya banyak kekurangan, asal kata dari kasaro yuksiru taksiran. Rodiallohu’anhum, artinya mudah-mudahan Allah meridhoi atas mereka. Wanafa’anabihim, artinya mudah-mudahan Allah memberi manfaat kepada kita, oleh sebab mereka. Jadi pada variabel kedua tersebut berarti, Yusuf Makasar al-Jawi yang banyak kekuarangan, mudah-mudahan Allah meridhoi atas mereka (pendahulu Yusuf) dan mudah-mudahan Allah memberi manfaat kepada kita, oleh sebab mereka.
            Dalam pengertian lain, bahwa yang terdapat pada variabel kedua bukan kata al-mu’tarofa, tetapi al-mukhtarofa yang artinya lebih populer masih pada variebel kedua bukan kata bizambi tetapi kata biz-zi’bi yang artinya keras seperti srigala. Pengertian yang terdapat pada variabel kedua berarti yang lebih populer bernama az-zi’bi yang memiliki sifat keras/tegas seperti kerasnya srigala. As-siddaa’u alal kuffar ruhamaa’u bainahum. Kerasnya terhadap kafir dan kasih sayang antara mereka. Pengertian bahwa yang dimaksud dengan wat-taksiru Yusuf  ialah ada kaitannya dengan nama sebelumnya yaitu nama Nabi Muhammad. Jadi wat-taksiru Yusuf berarti semacam Muhammad kecil. Dengan kata lain bahwa di dalam diri  Syeh Yusuf terdapat suatu pancaran Nur Muhammad. Dengan kata lain bahwa Nabi Muhammad itu seperti cabang gardu listrik, sedangkan pusat gardu listrik adalah Allah. Kita memperoleh aliran listrik bukannya langsung dari pusatnya tetapi melalu cabang gardu listrik. Bilamana mengambil aliran listrik langsung dari pusatnya, maka tidak akan mampu menahan bebannya dan yang akan terjadi bukannya akan memperoleh penerangan tetapi kegelapan.
            Nur Muhammad bukan suatu tujuan tetapi sebagai suatu cara untuk mencapai suatu tujuan. Tujuannya adalah untuk mencapai ridho Allah. Untuk memperoleh Nur Muhammad adalah dengan cara mempelajari, memahami dan mengamalkan ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad terebut sebagaimana dalam Hadis disebutkan ada dua pokok yaitu Kitabullah wa Sunnaturrasul. Peran Allah dan Muhammad sebagai manifestasi sahadatain. Ia bisa dikatakan sahadat kalau dua-duanya paralel. Cara semacam itu sebagai suatu gerakan pembaharu terhadapcara sebelumnya yang menghendakai bertauhid secara langsung, sementara media Nur Muhammad ini sebagai cara bertauhid tidak langsung, yaitu melalui perantara syafaat Nabi Muhammad. Tauhid secara langsung ini sampai pada suatu tujuan Ittihad. Bersatunya manusia dengan Tuhan. Cara seperti itu disebut Heteredok.
            Demikian pengertian dari kata wat-taksiru Yusuf. Sedangkan mengenai ajaran tarekatnya, dalam pengertian pada kalimat tersebut tidak termaktub, hanya ada disebutkan pada tempat yang lain dalam jalur kiri yaitu terdapat nama Jamaluddin Muhammad al-Khalwati. Kata Khalwati  merupakan nama populer dari suatu term tarekat dan juga menjadi suatu nama tarekat yang didirikan di Khurasan, Iran oleh Zhahiruddin (wafat 1397). Dalam Ensiklopedi Islam Volume 3 halman 33, disebutkan bahwa di Indonesia terdapat duau macam tarekat Khalwatiah yaitu; tarekat Khalwatiah Saman dan tarekat Khalwatiah Yusuf. Bedanya kalau tarekat Saman zikirnya dengan suara keras dan anggota badan bergoyang, sedangkan Khalwatiah Yusuf zikirnya dengan suara samar-samar (kafi) dan bergoyang hanya kepala, kekanan dan kekiri. Kekanan menyebut lafaz lailahaillah sedangkan kekiri menyebut lafazd illallah. Nampaknya zikir model Khalwatiah Yusuf tersebut berpengaruh pada masyarakat Banten hinga kini.

KEBERAAN SYEH YUSUF DI BANTEN
            Syeh Yusuf hidup pada masa puncak-puncak perkembangan kesultanan Banten, di bawah sultan Ageng Tirtayasa, setelah masa tersebut, kesultanan Banten sedikit demi sedikit mengalami kemerosotan yang akhirnya mengalami kerutuhan. Keruntuhan secara kekuasaan/wewenang terjadi pada tahun 1809 dan keruntuhan secara fisik terjadi pada tahun 1813.
            Kehadiran Syeh Yusuf di Banten telah mengalami dua masa yaitu masa Puncak kekuasaan kesultanan Banten dan masa awal keruntuhan kesultanan Banten. dalam masa puncak kesultanan Banten, Syeh Yusuf diperlukan sebagai penasehat kesultanan, disamping itu Syeh Yusuf adalah mantu dari Sultan Ageng Tirtayasa. Pada masa awal keruntuhan kesultanan Banten pada waktu terjadi perang saudara antara sultan Haji dengan Sultan Ageng Tirtayasa, Syeh Yusuf tampil untuk membantu pasukan sultan Ageng Tirtayasa. Perang saudara ini adalah suatu cara kolonial  Belanda untuk menumbangkan sultan Ageng tirtayasa yang dianggap oleh kolonial Belanda sebagai pembangkang. Sementara sultan Haji adalah sebagai patner kolonial Belanda. Dalam perang tersebut kolonial Belanda memihak sultan Haji. Perang yang tidak seimbang tersebut akhirnya dua orang pemimpin puncak yaitu sultan Ageng Tirtayasa dan Syeh Yusuf telah tertawan oleh kolonial Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa wafat di dalam tahanan, sementara Syeh Yusuf dibuang ke Afrika Selatan sampai ia wafat pada tanggal 23 Mei 1699 dalam usia 73 tahun di Desa Maccasar di kawasan Faure, 40 km di tenggara Cape Twn dimakamkan di atas bukit.
            Kedua-duanya, sultan Ageng Tirtayasa dan Syeh Yusuf telah dikukuhkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan Nasional.

TIGA JALUR NAMA-NAMA DALAM NASKAH BUMBUNG
            Dalam naskah tersebut ada 193 nama-nama orang dari berbagai negara, dari ke 193 nama tersebut dibagi menjadi 3 jalur, yaitu; jalur kiri, tengah dan kanan. Kelompok jalur kiri diawali dengan seorang nama Ali Al-Murtadho dan diakhiri dengan seorang nama Al-Fakir Sirojuddin Lahor.
            Adapun jalur tengah diawali dengan seorang nama Nabi Muhammad dan diakhiri dengan seorang nama Yusuf Makasar dan jalur kanan di awali dengan seorang nama Umar bin Khattab dan diakhiri dengan seorang nama Syeh Muhammad ibn Umar al-Wasiti.
            Nampaknya jalur kiri dan kanan merupakan pendamping dan pelengkap jalur tengah. Sedangkan jalur tengah merupakan yang utama. Nama yang terdapat pada jalur tengah,diawali dengan nama Nabi Muhaamad dan diakhiri dengan nama Yusuf Makasar Al-Jawi.
            Nampaknya yang hendak ditonjolkan dalam naskah tersebut adalah nama Yusuf Makasar Al-Jawi, betapa besar, betapa agungnya nama Ysusuf tersebut, untuk menguatkan keagungan nama Yusuf didukung oleh jalur kiri dan kanan. Mengenai nama terakhir  yang terdapat pada jalur tengah dalam suatu naskah adalah sebagai berikut:

AL-‘ABID AL-FAKIR AL-MU’TAROFA BI ZAMBI WA TAKSIRU YUSUF MAKASAR AL-JAWI RODILLOHU’ANHUM WA NAFA’ANA BIHIM. 

Friday 29 March 2013

Jawara Banten

Konotasi jawara, sebagai makna pertama secacara fisik adalah pencegah nahi mungkar Konotasi jawara sebagai makna kedua secara psikhis adalah karaskteristik watak masyarakat Banten. Makna pertama muncul setelah jatuhnya kesultanan Banten dan menjadi patner ulama yang memiliki fungsi menebar amar ma’ruf sedangkan jawara memiliki fungsi mencegah nahi mungkar. Makna pertama ini telah berperan pada masa kolonialisasi di Banten, setelah masa Republik ulama Banten mempercayakan pada perangkat pemerintahan sebagai pencegah nahi mungkar. Makna kedua yang secara psikhis merupakan karakteristik watak masyarakat Banten yang memiliki sifat, blak-blakan, egaliter, berani mengatakan benar dan salah walaupun pahit rasanya dan memiliki sifat locus of control internal (introspeksi diri atas segala kesalahan), sehingga K.H.E.Dirdjis menyebut sifat-sifat tersebut sebagai makna yang terkandung pada nama Banten yang berarti bantuan karena dibalik sifat-sifat terdalam adalah kejujuran, dan keikhlasan lillahi ta’ala.  Makna pertama jumlahnya amat terbatas dan muncul pada masa runtuhnya kesultanan Banten, dan telah ikut andil dalam mengusir kolonial di Banten, pada pasca Kemerdekaan makna suci jawara telah dirusak oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, baik sebagai garong maupun preman, yang sesunguhnya jawara berbeda dengan garong dan preman. Sedangkan makna kedua jumlahnya tak terbatas dan muncul pada masa awal permukiman di Banten hingga membawa Banten sebagai pusat-pusat pemerintahan baik pada masa Klasik maupun masa Islam


 

Pengertian Jawara Secara Fisik
            Jawara sebagai pencegah nahi mungkar dan pegembangan seni silat Banten telah berperan pada masa Islam di Banten, dan pada pasca runtuhnya kesultanan Banten, jawara sebagai pencegah nahi mungkar perannya semangkin sangat peting, ketika pada masa K.Wasyid seorang ulama pasca keruntuhan atau ulama abad 19, telah bekerjasama dengan jawara untuk merobohkan pohon beringin yang oleh masyarkat setempat memiliki kekuatan gaib. Demikian juga ketika K.Wasyid mengadakan perlawanan dalam menghadapi kolonial Belanda, K.Wasyid bekerjasama dengan jawara, dan para jawa mengadakan latihan  rutin di padepokan K.Wakiah. Pada awal abad 20 Jawara masih berhubungan erat dengan ulama dalam mencegah kemungkaran, antara lain kemungkaran dalam kemaksiatan, keberhasilan dalam menumbangkan kemaksiatan, sehingga namanya diabadikan dalam sebuah desa di Menes yang disebut Sindagresmi (eren beres) sebelumnya disebut dengan Kadurungu. Keharmonisan ulama dengan jawara hingga  berlangsung terus, selama jawara tersebut masih memegang fungsinya sebagai pencegah nahi mungkar, dalam kemaksiatan, kemusrikan,  kemungkaran dan penjajahan.
            Sementara jawara sebagai pelestari dan pengembangan seni silat Banten, di satu sisi berfungsi sebagai seni bela diri dan disisi lain sebagai seni hiburan. Sebagai seni bela diri dikembangkan hampir di setiap desa dan kota-kota di Banten memiliki perguruan silat dan umumnya diajarkan secara tertutup, demikian juga tampa identitas pakaian sehingga sulit melacak siapa yang memiliki ilmu beladiri dan dimana belajarnya. Pengembagan beladiri secara tertutup, jawabannya masih misteri karena seorang guru silat beladiri tidak pernah menjelaskannya, rahasia itu bisa dijawab oleh masing-masing diri dan dapat dirasakan ketika berada di tengah-tangah masyarakat; antara lain, menjauhi sifat ria, sifat sombong, percaya diri, tidak boleh mendahui dan wajib mempertahankan diri, memiliki kepedulian, tidak berbuat maksiat, kemusrikan dan kemungkaran. Bilamana dilanggar maka akan terjadi bilahi atau ilmunya luntur karena ilmu seni belediri Banten memiliiki Chadam, walaupun seni beladiri dohir.
            Sebagai seni beladiri hiburan, diajarkan secara terbuka, memiliki identitas pakaian dan dipertontonkan dimuka umum, baik seni kemahiran individu, adu tanding satu lawan satu atau satu lawan lebih dari satu. Seni hiburan tersebut ditampilkan dalam berbagai macam hiburan, untuk menyambut tamu secara resmi, hiburan perkawinan dsb  Bentuk seni silat hiburan tersebut pengembangan dari dasar-dasar silat. Seni beladiri hiburan ini dijarkan pada orang-orang tertentu yang berprofesi hiburan.      
            Persoalan yang muncul pada akhir abad ke 20 dan awal abad 21 ini adalah bagaimana eksistensi jawara Banten. Yang tentunya setelah peran Nahi Mungkar perannya dipercayakan pada aparat pemerintah Republik, apakah peran jawara mengisi peran yang kedua yaitu mengembangkan seni beladiri hiburan ?. Hal itu tergantung dari jawara itu sendiri dan sampai sejauh mana swadaya masyarakat konsen terhadap seni beladiri hiburan juga bagaimana pemerintah daerah menfasilitasi aspirasi dari masyarakat.

Pengertian Jawara Secara Psikhis
            Ambil alih fungsi nahi mungkar dari jawara ke pemerintahan resmi bukan berarti fungsi jawara sudah tidak ada, ia tetap ada dalam setiap diri masyarakat Banten yang telah menjadi watak, sifat dan karakteristiknya yang panjang sebagai suatu etnis Banten. Sifat atau karakteristik orang Banten adalah blak-blakan (terbuka), egaliter (kebersamaan), Locus of control internal (inrospeksi diri ke dalam terhadap suatu kesalahan)
            Karaktersitik Banten tersebut merupakan sisi lain dari makna jawara. Ia akan blak-blakan (terbuka), secara spontan dan langsung dalam mencegah kemungkaran, walaupun hanya dengan ucapan/doa, terbuka tampa tedeng aling-aling, kalau baik ia katakan baik kalau buruk ia katakan buruk dan tidak ingin dipuji atau cari muka atau menjilat. Lalu jawara itu egaliter, ia memiliki rasa kebersamaan, kepedulian sosial, ia merasa puas kalau sudah membantu orang banyak, ia merasa bangga kalau mampu membela orang-orang yang sedang tersiksa dan jawara itu memiliki karakteristik locus of control internal, kalau ada suatu kesalahan ia tidak menyalahkan orang lain tetapi ia introspeksi ke dalam. Namun sebaliknya akan bertindak tegas dan langsung bilamana difitnah/dituduh yang sesunguhnya tidak salah.
            Pengertian jawara yang kedua ini, umumnya dimiliki oleh etnis Banten, karena kuatnya karakteristik Banten tersebut, sehingga nampak dalam kepemimpinan dan etos kerja masyarakat Banten. Bagi orang yang tidak memahami seakan-akan orang Banten itu suka melawan atau suka membantah  “Bantahan”. Namun bagi orang yang memahami akan sadar bahwa karaktersitik/sifat itu sebagaimana disebutkan di atas  dan terintegrasi dengan ajaran Islam yang harus tegas terhadap kemuingkaran dan mengayomi terhadap masyarakat kecil wong cilik yang tertindas. Karena kuatnya karakteristik tersebut sehinga identitas tersebut tidak luntur/terpengaruh walaupun berada di luar administrasi Banten,
            Jawara dalam pengertian pertama, mencegah nahi mungkar dengan kekuatan fisiknya, jumlahnya relatif kecil dan berperan dalam menghadapi kolonial dan mendapat dukungan moril dan matrial dari ulama yang berperan dalam menebarkan amar ma’ruf. Peran jawara yang masih eksis hingga saat ini adalah yang terdapat pada karakteristik masyarakat Banten, (pengertian Jawara yang kedua) ia adalah motifator,akuntabilitas, terbuka dan transparan dalam membangun Banten.
            Pengertian Jawara yang kedua yang merupakan Karakteristik masyarakat Banten tersebut telah mampu membangun Banten dan menjadikan Banten dalam sebuah kesultanan juga dalam sisi ekonomi telah menghantarkan Banten ke sebuah Emperium. Karakteristik mayarakat Banten itu juga telah memayungi urban dan migran yang berada di Banten. Gangguan yang dihadapi oleh Banten sebagai persoalan, bukanlah kemajemukan tetapi pandangan budaya Barat yag menerapkan konsep monopoli, oligapoli,  rentenir, sekularisme dan diskriminasi yang dibawa oleh VOC dan kolonialisme. Demikian juga runtuhnya kesultaan Banten bukan karena kemajemukan tetapi karena masuknya pengaruh VOC (monopoli, oligapoli dan rentenir) dan pengaruh Kolonial ( sekularismenya  diskriminasi dan politik etis).
            Kedua pandangan dari keenam konsep tersebut, satu sisi telah menghancurkan sistem ekonomi kesultanan Banten dan di sisi lain telah meruntuhkan tatanan moral politik kesultanan Banten dan tatanan sosial masyarakat Banten dan membunuh karakter Banten

Karakteristik Banten dan Kesultanan
            Runtuhnya kesultanan Banten seakan-akan telah direncanakan secara sistemik dan menggunakan pola-pola perubahan dalam dunia Barat. Dalam dunia Barat ada dua pandangan besar antara lain pandangan sosialis dan kapitalis, kedua pandangan tersebut mejadi bagian pemikiran dalam dunia Barat yang  secara politik kedua pandangan tersebut merupakan dikotomi untuk saling mempengaruhi satu sama lain, baik dalam satu negara maupun antar negara. Dalam satu negara seperti pemerintah Belanda kedua pandangan tersebut terdapat pada wakil-wakil rakyat di parlemen dan pengaruhya pada negara jajahannya. Sementara pandangan antar negara secara makro, seperti Amerika yang menganut pandangan kapitalis dan Uni Sovyet yang menganut pandangan sosialis. 
            Baik sosialis maupun kapitalis, memandang sama dalam masalah ekonomi, bahwa ekonomi merupakan prima causa dalam suatu perubahan dan konflik, sehinga menempatkan ekonomi sebagai suprastruktur, sementara aspek lainnya adalah infrastruktur (sosial, budaya, agama, idiologi), hanya  bedanya dalam persoalan dialektika, pandangan sosialis, dialektika diperlukan untuk memperluas kekuatan sosialis-komunis, sementara dalam pandangan kapitalis, dialektika diperlukan sebagai memperbesar modal kapital.
            Konsep  ekonomi sebagai suprastruktur merupakan rencana yang sistemik yang pada giliran berikutnya penyusupan aspek politik. Hal itu telah diterapkan oleh Belanda dalam penjajahan di Hindia Belanda. Di Indonesia yang pertama-tama masuk adalah VOC berikutnya diambil alih oleh pemerintah kolonial.
            VOC telah berhasil menghancurkan sistem ekonomi kesultanan Banten, menerapkan monopoli, oligapoli dan rentenir. Bukti monopoli dan oligapoli dan rentenir VOC  dapat diamati dari perjanjian-perjanjian dari kedua belah pihak antara VOC dengan kesultanan Banten dan juga lihat di Harian Fajar Banten tanggal. Berikutnya pada masa pengambil alihan dari VOC ke pemerintah kolonial, program-program yang diterapkan kolonial adalah, sekularisme, diskriminasi dan politik etis.
            Sekularisasi yaitu pemisahan antara negara dengan agama. Bagi agama Kristen sekularisasi merupakan hasil kesepkatan bersama antara agama dan negarawan pada masa pemerintahan Romawi, bahkan prisnsip sekularisasi didukung oleh sumber dasar ajaran agamanya. Sementara dalam Islam sekularisasi terjadi di negara Turki, tetapi tidak mendapat dukugan dari sebagian umat Islam, dan ajaran Islam sendiri, karena Islam adalah agama fiddunya wal-akhirah. Nabi Muhammad sendiri ia adalah seorang Nabi dan juga sebagai negarawan.
            Diskriminasi. Diskriminasi  tidak hanya dalam masalah kulit, tetapi juga dalam masalah status sosial. Diskriminasi dalam status sosial ini pengaruhnya dalam pendidikan, sehingga yang berhak memperoleh pendidikan adalah dari kalangan kelas menengah ke atas antara lain; Putra Residen, putra Bupati, dan bangsawan. Padahal salah satu misi Islam adalah menghapus diskriminasi. Sebagaimana Nabi bersabda ketika Haji Wada, “ la fadda li ‘arobiyyin ‘ala azamihim wa la li azamihim ‘ala arobiyyin wa la asywado wala abyadho wala abyadho ‘ala asywadho illa bittaqwa”  artinya; tidak ada kelebihan bangsa Arab dari pada bangsa Azam (asing) tidak ada kelebihan kulit putih terhadap kulit hitam atau kulit hitam. Demikian juga Islamisasi  di Indonesia, khususnya di Banten telah memeperkenalkan misi kesetaraan dan kesejajaran manusia, hanya manusia yang bertaqwa yang paling tinggi dihadapan Allah. Misi tersebut telah mendapat tanggapan positif terutama bagi orang-orang yang berada di kelas bawah pra-Islam yang disebut kelas sudra
Politik etis, pada intinya sebagai balas jasa kolonial terhadap negri jajahan, namun implementasinya antara lain telah memunculkan kelas-kelas baru dalam masyarakat. Kelas baru ini telah menggeser kelas tradisional yang berpendidikan pesantren. Kelas baru ini sebagai generesasi kolonial di negri jajahan, walaupun tidak mendukung kolonialisasi namun minimal, warisan-warisan kolonial yang berupa penerepan Hukum, Politik, ekonomi menjadi pandangan hidup kelas baru. Kelas baru sebagai pemegang tongkat estafet pasca kolonialisasi bentukan kolonial, khususnya di Banten telah gagal. Kelas tradisional yang memiliki pendidikan pesantren dan meiliki wawasan luas (Islam Kaafah), memiliki pengaruh terhadap masyarakat Banten, sehingga pada masa kolonial meninggalkan negri jajahannya tongkat estafet bukan dari kader kolonial tetapi kader lokal dari kelas tradisional pesantren dan memiliki wawasan luas ( K.H.Tubagus Khatib sebagai Residen Banten,  Bupati Serang K.H.Tubagus Sam’un, Bupati Lebak K.H.Moh. Hasan, Bupati Pandeglang K.H. Abdullah, dan Bupati Tanggerang K.H. Tubagus Amin Abdullah)
            Poltitik etis implementasinya tidak hanya terhadap moral pendidikan anak didik, juga terhadap moral politik Islam yang telah dibangun pada masa Islam di Banten dan  diterapkan sebagai landasan moral politk pada masa Sultan Abdul Mafakhir, Sultan keempat. ( lihat Sepuluh Landasan Moral Politik Dalam Kesultanan Banten, oleh Tb. Najib), yang pada intinya dalam landasan moral politik Kesultanan Banten, bersumber pada Islam dan mengadopsi beberapa tradisi yang sesuai dengan Islam. Dari kesepuluh Moral Politik Kesultanan Banten tersebut antara lain;  Ayat kedua, Tentang kewibawaan penguasa dan pencapaiannya. Bagaimana kewibawaan penguasa dan cara pencapaiannya ?. dalam mengelola kekuasaannya secara baik dan berlaku adil;, kasih sayang dan perhatian terhadap segala persoalan yang dihadapinya (rakyatnya). Sultan Abdul Mafakhir dikenal sebagai seorang yang memperhatikan kepentingan rakyatnya ia sering kelililng ke desa-desa untuk megontrol sawah-sawah rakyat, ia tidak segan-segan untuk keluar malam memonitor keadaan rakyatnya, ia suka melakukan audensi dengan rakyatnya tampa mengambil jarak dengan rakyatnya. Tempat audensi tersebut disebuit Dipangga atau juga dilaksanakan di Setinggil atau Sitiluhur ( Hoesein Djajadiningrat, 1983: 71).


Simpulan
            Jawara merupakan bagian dari culture Banten, baik makna secara fisik maupun makna secara psikhis. Makna secara fisik telah berperan ssebagai patner ulama dalam mencegah nahi mungkar dan makna secara psikhis telah menurunkan sifat/karakteristik masyarakat Banten yang memiliki kepedulian, blak-blakan dalam masalah kebenaran dan kesalahan, egaliter, dan locus of control dan juga telah melahirkan sifat-sifat kepemimpinan yang pada masa klasik Banten merupakan Kadipaten dari Pajajaran dan pada masa Islam Banten telah berdiri sebagai Kesultanan dan Emperium di Asia Tenggara.
            Makna jawa secara fisik tidak hanya berfungsi dalam mencegah nahi mungkar juga berfungsi dalam mengembangkan seni silat Banten. Fungsi yang kedua ini tidak hanya dilestarikan dan dikembangkan juga bagaimana dalam pengelolaannya. Khususnya dalam seni silat hiburan. Kalau dahulu ulama bersinergi dengan jawara dalam mencegah nahi mungkar, tiba saatnya sekarang jawara ( dalam seni silat hiburan) perlu bersinergi dengan pengelola hiburan  melalui sponsor masyarkat atas fasilitasi dari pemerintah Daerah dan Kota.
            Kalau dikelola dengan baik maka nilai profit dari seni silat hiburan ini adalah ssebagai daya tarik pariwisata dalam permainan seni silatnya, berikutnya perangkat-perangkat seni silat hiburan ini juga memiliki nilai cendramata seperti, alat musiknya, pakaiannya, logonya dsb.
            Nilai profit dari seni silat hiburan ini satu sisi akan mengembangkan seni silat itu sendiri, disisi lain sebagai daya tarik untuk memasuki Banten, yang tentunya merupakan non migas yang akan menyumbangkan pendapatan Daerah. Dan yang lebih penting lagi pembangunan yang berwawasan lingkungan dapat maju pesat secara seimbang, secara merata, adil dan berkesinambungan.