PENGERTIAN AL-‘ABID
AL-MU’TROFU BIZAMBI WA TAKSIRU YUSUF MAKASAR AL-JAWI RADIULLOHU ANHUM WA
NAFAABIHIM.
(Dalam Naskah
Bumbung)
oleh: Tubagus Najib
PENDAHULUAN
Tabir
proses persentuhan budaya nusantara dengan tradisi-tradisi besar, seperti Islam
akan dapat diketahui lebih jelas, bilamana secara terus menerus mencari dan
mengungkapkan dari suatu hasil temuan, apalagi dalam masa tersebut sudah
mengenal huruf, sehingga dalam mengungkapkan sesuatu telah diwujudkan melalui
tulisan-tulisan.
Tulisan-tulisan
kuna, merupakan informasi yang berharga bagi peneliti khususnya, karena dari
kandungan tulisan tersebut tidak menutup kemungkinan akan terbuka
perbendaharaan masa lalu budaya, yang merupkan jatidiri bangsa Indonesia .
Pada
garis besarnya, terdapat dua tulisan bahasa naskah, yaitu naskah nusantara yang
terbagi atas berbagai macam bahasa lokal dan umumnya menggunakan huruf Arab dan
naskah asing yang menggunakan bahasa asing, seperti huruf Arab bahasa Arab,
huruf Belanda bahasa Belanda dan lain-lain.
Khusus
mengenai naskah nusantara yang menggunakan bahasa Melayu huruf Arab telah
tersebar di 28 negara ( Chamber Lor: 1980). Adapun jumlah naskah Melayu huruf
Arab yang terdapat di Nusantara sebanyak 400 buah ( Jumsari Jusuf 1994: 18),
belum termasuk bahasa-bahasa lokal lainnya yang ada di nusantara.
Penelitian
awal mengenai naskah yang dilakukan oleh Pus P3N, Bidang Arkeologi Islam,
dilaksanakan pada tahun 1976 (Cholid Sodri 1978: 83). Pada tahun 1980, Puslit
Arkenas bekerjasama dengan EFEO telah mengadakan pengumpulan naskah, khusus
naskah Jawa Barat secara bertahap, pada tahap pertama telah terkumpul sebanyak
955 naskah yang telah dimuat dalam KATAlOG I yang berasal dari naskah Daerah
Bogor, Cianjur, Sukabumi, Bandung Selatan, Barat dan Utara, Garut, Tasikmalaya,
Ciamis, Kuningan, Majalengka dan Subang Selatan.
Dalam
tahap berikutnya atau tahap kedua, baru dalam pengumpulan naskah yang akan
dimuat dalam KATALOG II yang berasal dari Serang Tengah, Utara dan Lampung.
Telah terhimpun sebanyak 14 naskah yang isinya terdiri dari 23 naskah induk dan
26 naskah sempalan (lihat tabel), tidak termasuk naskah bumbung.
Mengingat
naskah bumbung tersebut belum terjaring dalam penelitian naskah Islam II Jawa
Barat dan juga tidak diizinkan oleh pemiliknya untuk dipamerkan dalam Festival
Istiqlal II merupakan salah satu yang mendorong ingin mengetahui dan
mengungkapkan apa yang terkandung dalam naskah tersebut, apalagi sampai
diberitakan bahwa naskah tersebut yang terpanjang di wilayah Banten.
Di
akhir naskah tercantum tulisan dari bahasa Arab yang redaksinya sebagai
berikut:
AL’ABID AL-FAKIR AL-MUTAROFA
BIZAMBI WAT-TAKSIRU YUSUF MAKASAR AL-JAWI RODIALLOHU’ANHUM WA NAFA’ANA BIHIM,
Apa pengertian dari redaksi
tersebut dan bagaiamana pengaruhnya dalam masyarakat Banten ?
RIWAYAT NASKAH
Naskah
bumbungyaitu suatu naskah yang disimpan di dalam bumbung. Naskah tersebut
berisi tentang silsilah nama-nama yang berasal dari berbagai negara. Bahan
naskah dari kertas eropa yang dilapisi kain warna hijau. Panjang naskah 993 cm,
lebar 27,5 cm, sedangkan panjang bambu 57 cm dan diameter 10 cm. Pemilik naskah
H. Abdul Hamid, Desa Klapian, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang. Titimangsa
ditulis dengan angka Jawa dalam tahun Hijriah yang berangka tahun 1259 H atau
dalam tahun Masehinya tahun 1843 M. angka tahun/titimangsa tersebut terdapat
pada bagian awal naskah pada posisi di luar garis isi naskah.
Pasang
air laut akibat letusan Gunung Krakatau pada tahun 1888 telah menghancurkan
Desa-Desa yang berada di pesisir laut, termasuk Desa Klapian Tirtayasa. Korban
bencana alam tersebut telah merenggut harta dan nyawa. Diantaranya naskah
Bumbung, namun kemudian setelah air lau surut, naskah tersebut telahl ditemukan
kembali. Tidak diketahui dengan pasti
siapa yang mula-mula menemukan naskah tersebut hanya yang jelas naskah
tersebut telah menjadi milik ibu Kasinah (dikenal dengan ibu tua), berikutnya
diwariskan pada putranya yang bernama ibu Nuraini dan kewenangan sepenuhnya
dipegang oleh saudara sepupunya yang bernama K.H. Nabhani (berumur 70 tahun).
Asal-usul
ibu Kasinah (ibu tua) dari pihak ayahnya
berasal dari Sumedang sedangkan dari pihak ibu berasal dari Gunung Cianten yang
bernama Ratu Salmah. Naskah tersebut telah dimiliki secara turun temurun selama
4 generasi. Naskah Bumbung oleh pemiliknya dianggap sebagai benda Pusaka, yang
memiliki kewenangan membuka naskah tersebut ialah akhli waris yang ditunjuk
oleh keluarga, merekalah yang berhak untuk membukanya cara untuk membukanyapun
bersyarat ada waktu-waktu tertentu kecuali dalam keadaan darurat, harus
dihadiri minimal sebanyak 40 orang dan mendapat restu dari sidang keluarga.
Karena acara tersebut dihadiri oleh banyak orang, maka sebagai jamuannya
disediakan makan bersama sebagai lauk pauknya memotong dua ekor kambing untuk yang hadir dan untuk anak yatim
piatu.
PENGERTIAN
Pada
judul tersebut diatas terdapat 2 variabel. Variabel pertama adalah; al’abid
al-fakir al-mu’tarofa bi zambi. Variabel kedua, taksiru Yusuf Makasar al-Jawi
Rodiallohu’anhum wa nafa’ana bihim.
Variabel Pertama
Al-‘abid,
merupakan isim fa’il yang artinya hamba, asal kata dari ‘abada ya’budu.
Al-fakir merupakan isim fa’il, artinya yang mempunyai kekurangan, asal kata
dari fakaro yfkaro. Al-muo’tarofa, merupakan isim maf’ul artinya yang rumase
(yang merasa banyak). Bizambi, merupakan isim masdar, artinya dosa, asal kata
zanaba yanzibu. Jadi maksudnya adalah, Hamba yang miskin dan penuh dengan dosa.
Variabel Kedua
Wat-taksiru
Yusuf Makasar al-Jawi Rodiallohu’anhum wa nafa’ana bihim. At-taksiru merupakan
isim masdar, artinya banyak kekurangan, asal kata dari kasaro yuksiru taksiran.
Rodiallohu’anhum, artinya mudah-mudahan Allah meridhoi atas mereka.
Wanafa’anabihim, artinya mudah-mudahan Allah memberi manfaat kepada kita, oleh
sebab mereka. Jadi pada variabel kedua tersebut berarti, Yusuf Makasar al-Jawi
yang banyak kekuarangan, mudah-mudahan Allah meridhoi atas mereka (pendahulu
Yusuf) dan mudah-mudahan Allah memberi manfaat kepada kita, oleh sebab mereka.
Dalam
pengertian lain, bahwa yang terdapat pada variabel kedua bukan kata al-mu’tarofa,
tetapi al-mukhtarofa yang artinya lebih populer masih pada variebel kedua bukan
kata bizambi tetapi kata biz-zi’bi yang artinya keras seperti srigala.
Pengertian yang terdapat pada variabel kedua berarti yang lebih populer bernama
az-zi’bi yang memiliki sifat keras/tegas seperti kerasnya srigala. As-siddaa’u
alal kuffar ruhamaa’u bainahum. Kerasnya terhadap kafir dan kasih sayang antara
mereka. Pengertian bahwa yang dimaksud dengan wat-taksiru Yusuf ialah ada kaitannya dengan nama sebelumnya yaitu
nama Nabi Muhammad. Jadi wat-taksiru Yusuf berarti semacam Muhammad kecil.
Dengan kata lain bahwa di dalam diri
Syeh Yusuf terdapat suatu pancaran Nur Muhammad. Dengan kata lain bahwa
Nabi Muhammad itu seperti cabang gardu listrik, sedangkan pusat gardu listrik
adalah Allah. Kita memperoleh aliran listrik bukannya langsung dari pusatnya
tetapi melalu cabang gardu listrik. Bilamana mengambil aliran listrik langsung
dari pusatnya, maka tidak akan mampu menahan bebannya dan yang akan terjadi
bukannya akan memperoleh penerangan tetapi kegelapan.
Nur
Muhammad bukan suatu tujuan tetapi sebagai suatu cara untuk mencapai suatu
tujuan. Tujuannya adalah untuk mencapai ridho Allah. Untuk memperoleh Nur
Muhammad adalah dengan cara mempelajari, memahami dan mengamalkan ajaran yang
disampaikan Nabi Muhammad terebut sebagaimana dalam Hadis disebutkan ada dua
pokok yaitu Kitabullah wa Sunnaturrasul. Peran Allah dan Muhammad sebagai
manifestasi sahadatain. Ia bisa dikatakan sahadat kalau dua-duanya paralel.
Cara semacam itu sebagai suatu gerakan pembaharu terhadapcara sebelumnya yang
menghendakai bertauhid secara langsung, sementara media Nur Muhammad ini
sebagai cara bertauhid tidak langsung, yaitu melalui perantara syafaat Nabi
Muhammad. Tauhid secara langsung ini sampai pada suatu tujuan Ittihad.
Bersatunya manusia dengan Tuhan. Cara seperti itu disebut Heteredok.
Demikian
pengertian dari kata wat-taksiru Yusuf. Sedangkan mengenai ajaran tarekatnya,
dalam pengertian pada kalimat tersebut tidak termaktub, hanya ada disebutkan
pada tempat yang lain dalam jalur kiri yaitu terdapat nama Jamaluddin Muhammad
al-Khalwati. Kata Khalwati merupakan
nama populer dari suatu term tarekat dan juga menjadi suatu nama tarekat yang
didirikan di Khurasan, Iran oleh Zhahiruddin (wafat 1397). Dalam Ensiklopedi
Islam Volume 3 halman 33, disebutkan bahwa di Indonesia terdapat duau macam
tarekat Khalwatiah yaitu; tarekat Khalwatiah Saman dan tarekat Khalwatiah
Yusuf. Bedanya kalau tarekat Saman zikirnya dengan suara keras dan anggota badan
bergoyang, sedangkan Khalwatiah Yusuf zikirnya dengan suara samar-samar (kafi)
dan bergoyang hanya kepala, kekanan dan kekiri. Kekanan menyebut lafaz
lailahaillah sedangkan kekiri menyebut lafazd illallah. Nampaknya zikir model
Khalwatiah Yusuf tersebut berpengaruh pada masyarakat Banten hinga kini.
KEBERAAN SYEH YUSUF DI BANTEN
Syeh
Yusuf hidup pada masa puncak-puncak perkembangan kesultanan Banten, di bawah
sultan Ageng Tirtayasa, setelah masa tersebut, kesultanan Banten sedikit demi
sedikit mengalami kemerosotan yang akhirnya mengalami kerutuhan. Keruntuhan
secara kekuasaan/wewenang terjadi pada tahun 1809 dan keruntuhan secara fisik
terjadi pada tahun 1813.
Kehadiran
Syeh Yusuf di Banten telah mengalami dua masa yaitu masa Puncak kekuasaan
kesultanan Banten dan masa awal keruntuhan kesultanan Banten. dalam masa puncak
kesultanan Banten, Syeh Yusuf diperlukan sebagai penasehat kesultanan,
disamping itu Syeh Yusuf adalah mantu dari Sultan Ageng Tirtayasa. Pada masa
awal keruntuhan kesultanan Banten pada waktu terjadi perang saudara antara
sultan Haji dengan Sultan Ageng Tirtayasa, Syeh Yusuf tampil untuk membantu
pasukan sultan Ageng Tirtayasa. Perang saudara ini adalah suatu cara
kolonial Belanda untuk menumbangkan
sultan Ageng tirtayasa yang dianggap oleh kolonial Belanda sebagai pembangkang.
Sementara sultan Haji adalah sebagai patner kolonial Belanda. Dalam perang
tersebut kolonial Belanda memihak sultan Haji. Perang yang tidak seimbang
tersebut akhirnya dua orang pemimpin puncak yaitu sultan Ageng Tirtayasa dan
Syeh Yusuf telah tertawan oleh kolonial Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa wafat
di dalam tahanan, sementara Syeh Yusuf dibuang ke Afrika Selatan sampai ia
wafat pada tanggal 23 Mei 1699 dalam usia 73 tahun di Desa Maccasar di kawasan
Faure, 40 km di tenggara Cape Twn dimakamkan di atas bukit.
Kedua-duanya,
sultan Ageng Tirtayasa dan Syeh Yusuf telah dikukuhkan oleh pemerintah Republik
Indonesia sebagai pahlawan Nasional.
TIGA JALUR NAMA-NAMA DALAM NASKAH
BUMBUNG
Dalam
naskah tersebut ada 193 nama-nama orang dari berbagai negara, dari ke 193 nama
tersebut dibagi menjadi 3 jalur, yaitu; jalur kiri, tengah dan kanan. Kelompok
jalur kiri diawali dengan seorang nama Ali Al-Murtadho dan diakhiri dengan
seorang nama Al-Fakir Sirojuddin Lahor.
Adapun
jalur tengah diawali dengan seorang nama Nabi Muhammad dan diakhiri dengan
seorang nama Yusuf Makasar dan jalur kanan di awali dengan seorang nama Umar
bin Khattab dan diakhiri dengan seorang nama Syeh Muhammad ibn Umar al-Wasiti.
Nampaknya
jalur kiri dan kanan merupakan pendamping dan pelengkap jalur tengah. Sedangkan
jalur tengah merupakan yang utama. Nama yang terdapat pada jalur tengah,diawali
dengan nama Nabi Muhaamad dan diakhiri dengan nama Yusuf Makasar Al-Jawi.
Nampaknya
yang hendak ditonjolkan dalam naskah tersebut adalah nama Yusuf Makasar
Al-Jawi, betapa besar, betapa agungnya nama Ysusuf tersebut, untuk menguatkan
keagungan nama Yusuf didukung oleh jalur kiri dan kanan. Mengenai nama
terakhir yang terdapat pada jalur tengah
dalam suatu naskah adalah sebagai berikut:
AL-‘ABID AL-FAKIR AL-MU’TAROFA BI
ZAMBI WA TAKSIRU YUSUF MAKASAR AL-JAWI RODILLOHU’ANHUM WA NAFA’ANA BIHIM.