Monday 15 July 2013

Naskah: Silsilah Tarekat

PENGERTIAN AL-‘ABID AL-MU’TROFU BIZAMBI WA TAKSIRU YUSUF MAKASAR AL-JAWI RADIULLOHU ANHUM WA NAFAABIHIM.
(Dalam Naskah Bumbung)
oleh: Tubagus Najib

PENDAHULUAN
            Tabir proses persentuhan budaya nusantara dengan tradisi-tradisi besar, seperti Islam akan dapat diketahui lebih jelas, bilamana secara terus menerus mencari dan mengungkapkan dari suatu hasil temuan, apalagi dalam masa tersebut sudah mengenal huruf, sehingga dalam mengungkapkan sesuatu telah diwujudkan melalui tulisan-tulisan.
            Tulisan-tulisan kuna, merupakan informasi yang berharga bagi peneliti khususnya, karena dari kandungan tulisan tersebut tidak menutup kemungkinan akan terbuka perbendaharaan masa lalu budaya, yang merupkan jatidiri bangsa Indonesia.
            Pada garis besarnya, terdapat dua tulisan bahasa naskah, yaitu naskah nusantara yang terbagi atas berbagai macam bahasa lokal dan umumnya menggunakan huruf Arab dan naskah asing yang menggunakan bahasa asing, seperti huruf Arab bahasa Arab, huruf Belanda bahasa Belanda dan lain-lain.
            Khusus mengenai naskah nusantara yang menggunakan bahasa Melayu huruf Arab telah tersebar di 28 negara ( Chamber Lor: 1980). Adapun jumlah naskah Melayu huruf Arab yang terdapat di Nusantara sebanyak 400 buah ( Jumsari Jusuf 1994: 18), belum termasuk bahasa-bahasa lokal lainnya yang ada di nusantara.
            Penelitian awal mengenai naskah yang dilakukan oleh Pus P3N, Bidang Arkeologi Islam, dilaksanakan pada tahun 1976 (Cholid Sodri 1978: 83). Pada tahun 1980, Puslit Arkenas bekerjasama dengan EFEO telah mengadakan pengumpulan naskah, khusus naskah Jawa Barat secara bertahap, pada tahap pertama telah terkumpul sebanyak 955 naskah yang telah dimuat dalam KATAlOG I yang berasal dari naskah Daerah Bogor, Cianjur, Sukabumi, Bandung Selatan, Barat dan Utara, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Majalengka dan Subang Selatan.
            Dalam tahap berikutnya atau tahap kedua, baru dalam pengumpulan naskah yang akan dimuat dalam KATALOG II yang berasal dari Serang Tengah, Utara dan Lampung. Telah terhimpun sebanyak 14 naskah yang isinya terdiri dari 23 naskah induk dan 26 naskah sempalan (lihat tabel), tidak termasuk naskah bumbung.
            Mengingat naskah bumbung tersebut belum terjaring dalam penelitian naskah Islam II Jawa Barat dan juga tidak diizinkan oleh pemiliknya untuk dipamerkan dalam Festival Istiqlal II merupakan salah satu yang mendorong ingin mengetahui dan mengungkapkan apa yang terkandung dalam naskah tersebut, apalagi sampai diberitakan bahwa naskah tersebut yang terpanjang di wilayah Banten.
            Di akhir naskah tercantum tulisan dari bahasa Arab yang redaksinya sebagai berikut:
AL’ABID AL-FAKIR AL-MUTAROFA BIZAMBI WAT-TAKSIRU YUSUF MAKASAR AL-JAWI RODIALLOHU’ANHUM WA NAFA’ANA BIHIM,
Apa pengertian dari redaksi tersebut dan bagaiamana pengaruhnya dalam masyarakat Banten ?

RIWAYAT NASKAH
            Naskah bumbungyaitu suatu naskah yang disimpan di dalam bumbung. Naskah tersebut berisi tentang silsilah nama-nama yang berasal dari berbagai negara. Bahan naskah dari kertas eropa yang dilapisi kain warna hijau. Panjang naskah 993 cm, lebar 27,5 cm, sedangkan panjang bambu 57 cm dan diameter 10 cm. Pemilik naskah H. Abdul Hamid, Desa Klapian, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang. Titimangsa ditulis dengan angka Jawa dalam tahun Hijriah yang berangka tahun 1259 H atau dalam tahun Masehinya tahun 1843 M. angka tahun/titimangsa tersebut terdapat pada bagian awal naskah pada posisi di luar garis isi naskah.
            Pasang air laut akibat letusan Gunung Krakatau pada tahun 1888 telah menghancurkan Desa-Desa yang berada di pesisir laut, termasuk Desa Klapian Tirtayasa. Korban bencana alam tersebut telah merenggut harta dan nyawa. Diantaranya naskah Bumbung, namun kemudian setelah air lau surut, naskah tersebut telahl ditemukan kembali. Tidak diketahui dengan pasti  siapa yang mula-mula menemukan naskah tersebut hanya yang jelas naskah tersebut telah menjadi milik ibu Kasinah (dikenal dengan ibu tua), berikutnya diwariskan pada putranya yang bernama ibu Nuraini dan kewenangan sepenuhnya dipegang oleh saudara sepupunya yang bernama K.H. Nabhani (berumur 70 tahun).
            Asal-usul ibu Kasinah (ibu tua)  dari pihak ayahnya berasal dari Sumedang sedangkan dari pihak ibu berasal dari Gunung Cianten yang bernama Ratu Salmah. Naskah tersebut telah dimiliki secara turun temurun selama 4 generasi. Naskah Bumbung oleh pemiliknya dianggap sebagai benda Pusaka, yang memiliki kewenangan membuka naskah tersebut ialah akhli waris yang ditunjuk oleh keluarga, merekalah yang berhak untuk membukanya cara untuk membukanyapun bersyarat ada waktu-waktu tertentu kecuali dalam keadaan darurat, harus dihadiri minimal sebanyak 40 orang dan mendapat restu dari sidang keluarga. Karena acara tersebut dihadiri oleh banyak orang, maka sebagai jamuannya disediakan makan bersama sebagai lauk pauknya memotong dua ekor  kambing untuk yang hadir dan untuk anak yatim piatu.

PENGERTIAN
            Pada judul tersebut diatas terdapat 2 variabel. Variabel pertama adalah; al’abid al-fakir al-mu’tarofa bi zambi. Variabel kedua, taksiru Yusuf Makasar al-Jawi Rodiallohu’anhum wa nafa’ana bihim.

Variabel Pertama
            Al-‘abid, merupakan isim fa’il yang artinya hamba, asal kata dari ‘abada ya’budu. Al-fakir merupakan isim fa’il, artinya yang mempunyai kekurangan, asal kata dari fakaro yfkaro. Al-muo’tarofa, merupakan isim maf’ul artinya yang rumase (yang merasa banyak). Bizambi, merupakan isim masdar, artinya dosa, asal kata zanaba yanzibu. Jadi maksudnya adalah, Hamba yang miskin dan penuh dengan dosa.

Variabel Kedua
            Wat-taksiru Yusuf Makasar al-Jawi Rodiallohu’anhum wa nafa’ana bihim. At-taksiru merupakan isim masdar, artinya banyak kekurangan, asal kata dari kasaro yuksiru taksiran. Rodiallohu’anhum, artinya mudah-mudahan Allah meridhoi atas mereka. Wanafa’anabihim, artinya mudah-mudahan Allah memberi manfaat kepada kita, oleh sebab mereka. Jadi pada variabel kedua tersebut berarti, Yusuf Makasar al-Jawi yang banyak kekuarangan, mudah-mudahan Allah meridhoi atas mereka (pendahulu Yusuf) dan mudah-mudahan Allah memberi manfaat kepada kita, oleh sebab mereka.
            Dalam pengertian lain, bahwa yang terdapat pada variabel kedua bukan kata al-mu’tarofa, tetapi al-mukhtarofa yang artinya lebih populer masih pada variebel kedua bukan kata bizambi tetapi kata biz-zi’bi yang artinya keras seperti srigala. Pengertian yang terdapat pada variabel kedua berarti yang lebih populer bernama az-zi’bi yang memiliki sifat keras/tegas seperti kerasnya srigala. As-siddaa’u alal kuffar ruhamaa’u bainahum. Kerasnya terhadap kafir dan kasih sayang antara mereka. Pengertian bahwa yang dimaksud dengan wat-taksiru Yusuf  ialah ada kaitannya dengan nama sebelumnya yaitu nama Nabi Muhammad. Jadi wat-taksiru Yusuf berarti semacam Muhammad kecil. Dengan kata lain bahwa di dalam diri  Syeh Yusuf terdapat suatu pancaran Nur Muhammad. Dengan kata lain bahwa Nabi Muhammad itu seperti cabang gardu listrik, sedangkan pusat gardu listrik adalah Allah. Kita memperoleh aliran listrik bukannya langsung dari pusatnya tetapi melalu cabang gardu listrik. Bilamana mengambil aliran listrik langsung dari pusatnya, maka tidak akan mampu menahan bebannya dan yang akan terjadi bukannya akan memperoleh penerangan tetapi kegelapan.
            Nur Muhammad bukan suatu tujuan tetapi sebagai suatu cara untuk mencapai suatu tujuan. Tujuannya adalah untuk mencapai ridho Allah. Untuk memperoleh Nur Muhammad adalah dengan cara mempelajari, memahami dan mengamalkan ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad terebut sebagaimana dalam Hadis disebutkan ada dua pokok yaitu Kitabullah wa Sunnaturrasul. Peran Allah dan Muhammad sebagai manifestasi sahadatain. Ia bisa dikatakan sahadat kalau dua-duanya paralel. Cara semacam itu sebagai suatu gerakan pembaharu terhadapcara sebelumnya yang menghendakai bertauhid secara langsung, sementara media Nur Muhammad ini sebagai cara bertauhid tidak langsung, yaitu melalui perantara syafaat Nabi Muhammad. Tauhid secara langsung ini sampai pada suatu tujuan Ittihad. Bersatunya manusia dengan Tuhan. Cara seperti itu disebut Heteredok.
            Demikian pengertian dari kata wat-taksiru Yusuf. Sedangkan mengenai ajaran tarekatnya, dalam pengertian pada kalimat tersebut tidak termaktub, hanya ada disebutkan pada tempat yang lain dalam jalur kiri yaitu terdapat nama Jamaluddin Muhammad al-Khalwati. Kata Khalwati  merupakan nama populer dari suatu term tarekat dan juga menjadi suatu nama tarekat yang didirikan di Khurasan, Iran oleh Zhahiruddin (wafat 1397). Dalam Ensiklopedi Islam Volume 3 halman 33, disebutkan bahwa di Indonesia terdapat duau macam tarekat Khalwatiah yaitu; tarekat Khalwatiah Saman dan tarekat Khalwatiah Yusuf. Bedanya kalau tarekat Saman zikirnya dengan suara keras dan anggota badan bergoyang, sedangkan Khalwatiah Yusuf zikirnya dengan suara samar-samar (kafi) dan bergoyang hanya kepala, kekanan dan kekiri. Kekanan menyebut lafaz lailahaillah sedangkan kekiri menyebut lafazd illallah. Nampaknya zikir model Khalwatiah Yusuf tersebut berpengaruh pada masyarakat Banten hinga kini.

KEBERAAN SYEH YUSUF DI BANTEN
            Syeh Yusuf hidup pada masa puncak-puncak perkembangan kesultanan Banten, di bawah sultan Ageng Tirtayasa, setelah masa tersebut, kesultanan Banten sedikit demi sedikit mengalami kemerosotan yang akhirnya mengalami kerutuhan. Keruntuhan secara kekuasaan/wewenang terjadi pada tahun 1809 dan keruntuhan secara fisik terjadi pada tahun 1813.
            Kehadiran Syeh Yusuf di Banten telah mengalami dua masa yaitu masa Puncak kekuasaan kesultanan Banten dan masa awal keruntuhan kesultanan Banten. dalam masa puncak kesultanan Banten, Syeh Yusuf diperlukan sebagai penasehat kesultanan, disamping itu Syeh Yusuf adalah mantu dari Sultan Ageng Tirtayasa. Pada masa awal keruntuhan kesultanan Banten pada waktu terjadi perang saudara antara sultan Haji dengan Sultan Ageng Tirtayasa, Syeh Yusuf tampil untuk membantu pasukan sultan Ageng Tirtayasa. Perang saudara ini adalah suatu cara kolonial  Belanda untuk menumbangkan sultan Ageng tirtayasa yang dianggap oleh kolonial Belanda sebagai pembangkang. Sementara sultan Haji adalah sebagai patner kolonial Belanda. Dalam perang tersebut kolonial Belanda memihak sultan Haji. Perang yang tidak seimbang tersebut akhirnya dua orang pemimpin puncak yaitu sultan Ageng Tirtayasa dan Syeh Yusuf telah tertawan oleh kolonial Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa wafat di dalam tahanan, sementara Syeh Yusuf dibuang ke Afrika Selatan sampai ia wafat pada tanggal 23 Mei 1699 dalam usia 73 tahun di Desa Maccasar di kawasan Faure, 40 km di tenggara Cape Twn dimakamkan di atas bukit.
            Kedua-duanya, sultan Ageng Tirtayasa dan Syeh Yusuf telah dikukuhkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan Nasional.

TIGA JALUR NAMA-NAMA DALAM NASKAH BUMBUNG
            Dalam naskah tersebut ada 193 nama-nama orang dari berbagai negara, dari ke 193 nama tersebut dibagi menjadi 3 jalur, yaitu; jalur kiri, tengah dan kanan. Kelompok jalur kiri diawali dengan seorang nama Ali Al-Murtadho dan diakhiri dengan seorang nama Al-Fakir Sirojuddin Lahor.
            Adapun jalur tengah diawali dengan seorang nama Nabi Muhammad dan diakhiri dengan seorang nama Yusuf Makasar dan jalur kanan di awali dengan seorang nama Umar bin Khattab dan diakhiri dengan seorang nama Syeh Muhammad ibn Umar al-Wasiti.
            Nampaknya jalur kiri dan kanan merupakan pendamping dan pelengkap jalur tengah. Sedangkan jalur tengah merupakan yang utama. Nama yang terdapat pada jalur tengah,diawali dengan nama Nabi Muhaamad dan diakhiri dengan nama Yusuf Makasar Al-Jawi.
            Nampaknya yang hendak ditonjolkan dalam naskah tersebut adalah nama Yusuf Makasar Al-Jawi, betapa besar, betapa agungnya nama Ysusuf tersebut, untuk menguatkan keagungan nama Yusuf didukung oleh jalur kiri dan kanan. Mengenai nama terakhir  yang terdapat pada jalur tengah dalam suatu naskah adalah sebagai berikut:

AL-‘ABID AL-FAKIR AL-MU’TAROFA BI ZAMBI WA TAKSIRU YUSUF MAKASAR AL-JAWI RODILLOHU’ANHUM WA NAFA’ANA BIHIM. 

No comments:

Post a Comment